"Aku sangat menyukai suasana saat berada di dekatmu. Tenang,
indah, menakjubkan. Persis seperti dirimu"
-&&&-
Keindahan mentari selalu diagung-agungkan oleh segelintir
orang, tak khayal pula jika seorang gadis berponi itu turut menikmati keajaiban
Tuhan yang seorang pun tak dapat menyangkal pesonanya. Rambut panjangnya yang
dibiarkan tergerai melambai-lambai bagai nyiur yang mempercantik keindahan
pantai, membuat sang mentari menutup dirinya karena iri.
Sejenak gadis itu mengecek arloji yang terpasang di pergelangan
tangan kanannya. Gadis itu bernapas lega ketika melihat jarum jam yang masih
menunjukkan pukul 5.45 pagi, yang berarti masih ada waktu 15 menit lagi sebelum
bus sekolah datang menjemputnya.
"Rein… ayolah, sebentar lagi bus akan datang"
teriak gadis lain dari arah belakang gadis yang diketahui bernama Rein itu.
Rein berbalik menatap gadis manis yang tengah berlari menuju ke arahnya, gadis
yang telah menemani harinya selama 2 tahun terakhir, Araalyn Fransiska namanya.
Rein tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih
lantas menghampiri Alyn yang tak kunjung sampai mendekatinya.
"Sudah kubilang, tempat itu berbahaya. Kenapa kau tak
pernah mendengarku?" Sungut Alyn marah, tapi Rein hanya membalasnya dengan
cengiran lebar. Ya bagaimana lagi? Rein menyukai suasana tenang yang tercipta
saat dirinya duduk di tepi tebing itu, menikmati semilir angin pagi yang
menularkan kesegaran, harum bunga lavender yang bermekaran di bawah kakinya
yang menjuntai, serta ciptaan Tuhan yang memberinya ketenangan batin. Dan semua
itu hanya dapat disaksikannya setiap pagi. Bagaimana Rein bisa menolak ketengan
yang menjanjikan seperti itu? Ia butuh pikiran yang segar untuk kembali
bergelung dengan buku-buku tebal yang sebentar lagi akan memenuhi pikirannya
bukan?
Alyn yang mulai kesal akhirnya menarik pergelangan tangan
Rein yang hanya pasrah, seakan tak ada niatan untuk melawan atau sekedar
membela diri. Begitulah Rein, memang terkadang ia menjengkelkan tapi
percayalah, dia satu-satunya sahabat yang mencintainya dengan tulus. Dan sekali
lagi, Alyn tak akan mau kehilangannya, meski ditukar dengan batangan emas dan
berlian sekalipun.
Tebing itu memang cukup jauh dari halte tempat mereka
menunggu bus, mereka juga harus melewati taman dan menyebrangi jalan raya
yang sudah dipastikan akan ramai seiring meningginya mentari. Jadi, mereka
harus bergegas jika tak ingin ketinggalan.
Rein dan Alyn bernapas lega ketika melihat beberapa teman
mereka masih berdiri di dekat halte, yang artinya sudah pasti bus itu belum
datang dan meninggalkan mereka.
Tak beberapa lama, bus itu datang. Ah, rupanya kali ini bus
datang lebih awal, untung saja Alyn cepat menariknya hingga ia tak ketinggalan.
Pasalnya, Rein tak akan sadar keadaan apabila sudah berada tebing itu sebelum
mentari meninggi dan memamerkan panasnya yang menyengat.
Rein menaiki bus itu dengan perlahan, pandangannya
menjelajah mencari tempat yang sekiranya bisa ia duduki bersama sahabatnya.
Namun nihil, hanya ada 2 bangku yang tersisa, 1 diantaranya sudah terisi oleh
salah satu temannya dari kelas lain, dan sisanya diduduki oleh seorang pria
yang belum pernah Rein temui selama 2 tahun bersekolah di SMKN 1 Bawang. Rein
sedikit bingung, tapi ia mencoba untuk tak ambil pusing. Toh, mungkin saja Rein
lupa, atau dia anak baru. Ah, entahlah.
Perlu diketahui, hari ini adalah hari pertama Rein
menginjak dikelas 12, jadi meskipun selama libur semester lalu Rein tak akan
bangkit dari mimpi indahnya sebelum jam dinding menunjukkan pukul 8.00 dan jam
wekernya berbunyi sebanyak 7 kali, tapi hari pertama selalu spesial bagi Rein,
hari yang akan mengubah kehidupannya untuk setahun yang akan datang dan
seterusnya. Jadi, tentu saja hari ini ia tak boleh terlambat.
Rein berhenti sejenak hendak berbalik dan memutuskan untuk
duduk bersama tetangga kelasnya daripada duduk dengan pria yang tak
diketahuinya itu. Tapi baru saja kakinya melangkah, Alyn sudah terlebih dahulu
menyambar tempat duduk incarannya. Rein mendengus kesal, sedangkan empunya
hanya tersenyum manis sembari menangkupkan kedua tangannya didepan dada,
-memohon-
Rein lagi-lagi pasrah, lantas berjalan gontai dan mendudukkan
dirinya disebelah pria asing itu. Rasa penasarannya yang kuat membuatnya
takut-takut melirik pria yang tengah mendengarkan lagu lewat earphone sembari
menutup kedua matanya. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk
lengkungan indah. Rein turut merasakan kedamaian ketika melihat wajah pria itu
yang tenang bak genangan air dan tak memiliki beban dalam hidupnya. Tapi Rein
tak ingin menduga-duga, bisa saja pikirannya tak sesuai dengan realita. Seperti
sungai yang tenang, didalamnya terdapat arus yang deras, bisa saja seperti itu.
Tapi sekali lagi, tentu saja Rein tak pernah berharap demikian.
Rein terpaku ketika tiba-tiba pria itu membuka mata dan
mendapati dirinya tengah memandang intens pria itu. Tapi, ketika Rein ingin
beralih, justru ia tak sengaja memandang manik matanya. Tak ada yang dapat
dilakukannya kecuali merutuki dirinya sendiri, pasalnya meskipun pikirannya
menyuruhnya untuk berhenti, tapi ia malah ingin menyelami dan menenggelamkan
dirinya dalam lingkaran hitam itu. Terhipnotis, mungkin rasanya tak jauh
berbeda dengan yang tengah Rein rasakan saat ini.
Pria itu memandang Rein dengan alisnya yang mengernyit
bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya, sebentar lagi bus yang mereka
tumpangi akan sampai, tapi sepertinya gadis di sampingnya tak berniat
melepaskan pandangannya yang berbinar-binar dari dirinya. Tunggu, dari dirinya?
Ya, dan sepertinya Rein lupa akan hal itu.
Pria itu berdehem pelan ketika dirasa bus akan segera
berhenti, sekedar menyadarkan Rein yang masih saja membeku. Tapi, ternyata ia
salah. Rein baru sadar setelah ia berdehem sebanyak 3 kali dengan suara yang
cukup keras, hingga membuat semua penghuni bus menoleh kearahnya dan
melemparkan tatapan bertanya.
Rein gelagapan, tentu saja. Wajahnya langsung memerah bak
tomat dan dadanya naik turun karena detak jantungnya yang bekerja melebihi
batas normal.
"Maaf, maaf, maaf…" Rein lantas bangkit dari
duduknya dengan terburu-buru sembari menggumakan kata maaf berkali-kali. Dia
sungguh malu, bagaimana bisa ia menatap seorang pria selekat itu? Namun, baru
saja beberapa langkah, kakinya menyandung sesuatu yang membuatnya limbung dan
mendarat mulus di lantai bus. Sontak semua mata memandangnya, sebagian ada yang
tertawa, menatapnya iba dan ada pula yang memilih tak perduli.
"Rein…" Alyn hendak membantunya. Tapi Rein
bergerak cepat, bangkit lantas berlari meninggalkan bus tanpa sepatah kata pun
dan memasuki area sekolahnya dengan perasaan yang tak dapat ia gambarkan.
Pria itu sedikit merasa bersalah ketika melihat Rein,
bagaimanapun ia yang membuat Rein bertingkah bodoh seperti itu. Tapi untuk apa?
Tetap saja kan itu salah Rein sendiri? Tentu saja ia tak bertanggungjawab atas
semua yang terjadi pada gadis itu. Tapi… Entahlah, yang jelas ia merasakannya.
Dan sekali lagi, ia terlalu sangsi untuk mengucapkan maaf ataupun kalimat yang
dapat menenangkan gadis itu, bahkan untuk tersenyum pun rasanya ia tak mampu.
"Maafkan aku" Ujar pria itu pelan ketika dirasa
hanya dirinya yang berada dibus itu, lantas bangkit dan berjalan menuju papan
pengumuman yang akan menunjukkan kelas tempatnya belajar untuk jangka waktu
setahun mendatang. Untunglah, keadaannya tak seramai biasanya, jadi ia cukup
leluasa untuk mencari namanya di dalam daftar.
Kelas XII Akuntansi 1
1. Agatha Rein
2. Agistin Nur Aisyah
3. Alifia Zulian
4. Andi Yulianto
5. Araalyn Fransiska
6. Bagas Saktiawan
7. Brigas Fachry
8. Calvin Antariksa
Sejenak ia terpaku, bukan tentang kelas mana yang akan
ditempatinya. Tapi, seseorang yang akan menjadi teman kelasnya nanti. Ada 1
nama yang mengganggu pikirannya, Agatha Rein. Apakah Rein adalah Agatha Rein
yang akan jadi teman sekelasnya? Gadis yang ia ketahui namanya saat seorang
temannya memanggil namanya tatkala ia terjatuh? Gadis yang sama yang sempat
menatapnya dengan tatapan berbinar-binar? Mungkinkah?
-&&&-
Lanjutkan
BalasHapus