Sabtu, 04 Maret 2017

Bab 1 : Pria Asing

"Aku sangat menyukai suasana saat berada di dekatmu. Tenang, indah, menakjubkan. Persis seperti dirimu"

-&&&-

Keindahan mentari selalu diagung-agungkan oleh segelintir orang, tak khayal pula jika seorang gadis berponi itu turut menikmati keajaiban Tuhan yang seorang pun tak dapat menyangkal pesonanya. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai melambai-lambai bagai nyiur yang mempercantik keindahan pantai, membuat sang mentari menutup dirinya karena iri.

Sejenak gadis itu mengecek arloji yang terpasang di pergelangan tangan kanannya. Gadis itu bernapas lega ketika melihat jarum jam yang masih menunjukkan pukul 5.45 pagi, yang berarti masih ada waktu 15 menit lagi sebelum bus sekolah datang menjemputnya.

"Rein… ayolah, sebentar lagi bus akan datang" teriak gadis lain dari arah belakang gadis yang diketahui bernama Rein itu. Rein berbalik menatap gadis manis yang tengah berlari menuju ke arahnya, gadis yang telah menemani harinya selama 2 tahun terakhir, Araalyn Fransiska namanya.

Rein tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih lantas menghampiri Alyn yang tak kunjung sampai mendekatinya.

"Sudah kubilang, tempat itu berbahaya. Kenapa kau tak pernah mendengarku?" Sungut Alyn marah, tapi Rein hanya membalasnya dengan cengiran lebar. Ya bagaimana lagi? Rein menyukai suasana tenang yang tercipta saat dirinya duduk di tepi tebing itu, menikmati semilir angin pagi yang menularkan kesegaran, harum bunga lavender yang bermekaran di bawah kakinya yang menjuntai, serta ciptaan Tuhan yang memberinya ketenangan batin. Dan semua itu hanya dapat disaksikannya setiap pagi. Bagaimana Rein bisa menolak ketengan yang menjanjikan seperti itu? Ia butuh pikiran yang segar untuk kembali bergelung dengan buku-buku tebal yang sebentar lagi akan memenuhi pikirannya bukan?

Alyn yang mulai kesal akhirnya menarik pergelangan tangan Rein yang hanya pasrah, seakan tak ada niatan untuk melawan atau sekedar membela diri. Begitulah Rein, memang terkadang ia menjengkelkan tapi percayalah, dia satu-satunya sahabat yang mencintainya dengan tulus. Dan sekali lagi, Alyn tak akan mau kehilangannya, meski ditukar dengan batangan emas dan berlian sekalipun.

Tebing itu memang cukup jauh dari halte tempat mereka menunggu bus, mereka juga harus melewati taman dan menyebrangi jalan raya yang sudah dipastikan akan ramai seiring meningginya mentari. Jadi, mereka harus bergegas jika tak ingin ketinggalan.

Rein dan Alyn bernapas lega ketika melihat beberapa teman mereka masih berdiri di dekat halte, yang artinya sudah pasti bus itu belum datang dan meninggalkan mereka.

Tak beberapa lama, bus itu datang. Ah, rupanya kali ini bus datang lebih awal, untung saja Alyn cepat menariknya hingga ia tak ketinggalan. Pasalnya, Rein tak akan sadar keadaan apabila sudah berada tebing itu sebelum mentari meninggi dan memamerkan panasnya yang menyengat.

Rein menaiki bus itu dengan perlahan, pandangannya menjelajah mencari tempat yang sekiranya bisa ia duduki bersama sahabatnya. Namun nihil, hanya ada 2 bangku yang tersisa, 1 diantaranya sudah terisi oleh salah satu temannya dari kelas lain, dan sisanya diduduki oleh seorang pria yang belum pernah Rein temui selama 2 tahun bersekolah di SMKN 1 Bawang. Rein sedikit bingung, tapi ia mencoba untuk tak ambil pusing. Toh, mungkin saja Rein lupa, atau dia anak baru. Ah, entahlah.

Perlu diketahui, hari ini adalah hari pertama Rein  menginjak dikelas 12, jadi meskipun selama libur semester lalu Rein tak akan bangkit dari mimpi indahnya sebelum jam dinding menunjukkan pukul 8.00 dan jam wekernya berbunyi sebanyak 7 kali, tapi hari pertama selalu spesial bagi Rein, hari yang akan mengubah kehidupannya untuk setahun yang akan datang dan seterusnya. Jadi, tentu saja hari ini ia tak boleh terlambat.

Rein berhenti sejenak hendak berbalik dan memutuskan untuk duduk bersama tetangga kelasnya daripada duduk dengan pria yang tak diketahuinya itu. Tapi baru saja kakinya melangkah, Alyn sudah terlebih dahulu menyambar tempat duduk incarannya. Rein mendengus kesal, sedangkan empunya hanya tersenyum manis sembari menangkupkan kedua tangannya didepan dada, -memohon-

Rein lagi-lagi pasrah, lantas berjalan gontai dan mendudukkan dirinya disebelah pria asing itu. Rasa penasarannya yang kuat membuatnya takut-takut melirik pria yang tengah mendengarkan lagu lewat earphone sembari menutup kedua matanya. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan indah. Rein turut merasakan kedamaian ketika melihat wajah pria itu yang tenang bak genangan air dan tak memiliki beban dalam hidupnya. Tapi Rein tak ingin menduga-duga, bisa saja pikirannya tak sesuai dengan realita. Seperti sungai yang tenang, didalamnya terdapat arus yang deras, bisa saja seperti itu. Tapi sekali lagi, tentu saja Rein tak pernah berharap demikian.

Rein terpaku ketika tiba-tiba pria itu membuka mata dan mendapati dirinya tengah memandang intens pria itu. Tapi, ketika Rein ingin beralih, justru ia tak sengaja memandang manik matanya. Tak ada yang dapat dilakukannya kecuali merutuki dirinya sendiri, pasalnya meskipun pikirannya menyuruhnya untuk berhenti, tapi ia malah ingin menyelami dan menenggelamkan dirinya dalam lingkaran hitam itu. Terhipnotis, mungkin rasanya tak jauh berbeda dengan yang tengah Rein rasakan saat ini.

Pria itu memandang Rein dengan alisnya yang mengernyit bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya, sebentar lagi bus yang mereka tumpangi akan sampai, tapi sepertinya gadis di sampingnya tak berniat melepaskan pandangannya yang berbinar-binar dari dirinya. Tunggu, dari dirinya? Ya, dan sepertinya Rein lupa akan hal itu.

Pria itu berdehem pelan ketika dirasa bus akan segera berhenti, sekedar menyadarkan Rein yang masih saja membeku. Tapi, ternyata ia salah. Rein baru sadar setelah ia berdehem sebanyak 3 kali dengan suara yang cukup keras, hingga membuat semua penghuni bus menoleh kearahnya dan melemparkan tatapan bertanya.

Rein gelagapan, tentu saja. Wajahnya langsung memerah bak tomat dan dadanya naik turun karena detak jantungnya yang bekerja melebihi batas normal.

"Maaf, maaf, maaf…" Rein lantas bangkit dari duduknya dengan terburu-buru sembari menggumakan kata maaf berkali-kali. Dia sungguh malu, bagaimana bisa ia menatap seorang pria selekat itu? Namun, baru saja beberapa langkah, kakinya menyandung sesuatu yang membuatnya limbung dan mendarat mulus di lantai bus. Sontak semua mata memandangnya, sebagian ada yang tertawa, menatapnya iba dan ada pula yang memilih tak perduli.

"Rein…" Alyn hendak membantunya. Tapi Rein bergerak cepat, bangkit lantas berlari meninggalkan bus tanpa sepatah kata pun dan memasuki area sekolahnya dengan perasaan yang tak dapat ia gambarkan.

Pria itu sedikit merasa bersalah ketika melihat Rein, bagaimanapun ia yang membuat Rein bertingkah bodoh seperti itu. Tapi untuk apa? Tetap saja kan itu salah Rein sendiri? Tentu saja ia tak bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada gadis itu. Tapi… Entahlah, yang jelas ia merasakannya. Dan sekali lagi, ia terlalu sangsi untuk mengucapkan maaf ataupun kalimat yang dapat menenangkan gadis itu, bahkan untuk tersenyum pun rasanya ia tak mampu.

"Maafkan aku" Ujar pria itu pelan ketika dirasa hanya dirinya yang berada dibus itu, lantas bangkit dan berjalan menuju papan pengumuman yang akan menunjukkan kelas tempatnya belajar untuk jangka waktu setahun mendatang. Untunglah, keadaannya tak seramai biasanya, jadi ia cukup leluasa untuk mencari namanya di dalam daftar.

Kelas XII Akuntansi 1
1. Agatha Rein
2. Agistin Nur Aisyah
3. Alifia Zulian
4. Andi Yulianto
5. Araalyn Fransiska
6. Bagas Saktiawan
7. Brigas Fachry
8. Calvin Antariksa

Sejenak ia terpaku, bukan tentang kelas mana yang akan ditempatinya. Tapi, seseorang yang akan menjadi teman kelasnya nanti. Ada 1 nama yang mengganggu pikirannya, Agatha Rein. Apakah Rein adalah Agatha Rein yang akan jadi teman sekelasnya? Gadis yang ia ketahui namanya saat seorang temannya memanggil namanya tatkala ia terjatuh? Gadis yang sama yang sempat menatapnya dengan tatapan berbinar-binar? Mungkinkah?


-&&&-

1 komentar: