Senin, 20 Maret 2017

Bab 3 : Kecewa



"Rupamu mungkin tak begitu meyakinkan. Tapi aku tak punya pilihan lain kecuali menunggu sisi lain dirimu yang mengagumkan"

-&&&-

"Namaku Calvin Antariksa" katanya, sembari mengulum senyum.

Nama itu… Nama yang tak asing lagi terdengar, nama yang terus terngiang selama 2 tahun terakhir. Nama yang mampu membuat bayangan akan keindahan melambung hingga angkasa, persis seperti nama yang disandangnya. Dan pemilik nama itu… Benarkah? Apa ini nyata? Sungguh?

"Ahh benar-benar tak dapat dipercaya"

"Apa?"

"Hah?" Kaget Rein, tak menyangka mulutnya akan merealisasikan apa yang ada di pikirannya.

"Apanya yang tak dapat dipercaya?"

"Ah tidak, aku hanya… Entahlah"

"Rein, kau baik-baik saja kan? Wajahmu terlihat sedikit pucat" Tanya Calvin sarat akan kekhawatiran. Sedangkan Rein hanya tersenyum canggung, memikirkan takdir macam apa yang telah mempertemukannya dengan seorang Calvin Antariksa.
.
.
.
*flashback

Langit terlihat begitu mendung, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Rein terus melonggokkan kepalanya, mencari keberadaan seseorang dan berharap agar orang itu tak meninggalkannya. Berkali-kali ia melirik guru yang masih setia menerangkan suatu sejarah. Bukan sejarah penting, melainkan sejarah hidup dan percintaannya ketika ia masih remaja. Bahkan, tak ada seorangpun yang berminat memperhatikannya, semua murid terlihat bosan dan memilih berkutat dengan pekerjaan yang menurut mereka lebih penting. Lucu kan? Walaupun begitu, Rein merasa sedikit iba. Sedikit? Ya, hanya sedikit. Karena sejujurnya ia juga agak kesal, jam pulangnya mundur, dan itu bisa menjadi suatu bencana.

"Ya, cukup untuk hari ini. Sampai jumpa di minggu berikutnya" Rein bernapas lega ketika guru itu menutup pertemuan mereka dan mulai berderap meninggalkan kelas. Tak ingin bertele-tele, Rein langsung memasukkan peralatan tulisnya secara asal lantas keluar dari kelas dengan terburu-buru. Pasalnya, sudah 1 minggu Alyn tak masuk sekolah, berlibur katanya. Jadi, tak ada yang perlu Rein tunggu lagi.

Pandangannya menyapu seluruh koridor yang sudah lumayan sepi. Mungkin karena keadaan gelap membuat mereka tak betah berlama-lama disini dan memilih untuk segera pulang. Setidaknya bergelung di bawah selimut dan ditemani camilan serta coklat hangat yang menggugah selera lebih menyenangkan dibanding membeku diantara kungkungan air hujan. Bukan begitu?

"Rein… cepatlah. Aku menunggumu disini" Rein berbalik, lantas berlari mengikuti sumber suara. Terlihat selulet seseorang disana, meskipun agak samar, tapi Rein amat mengenalnya.

"Lani? Kau tak meninggalkanku?"

"Tentu, yang suka ke perpustakaan kan hanya kau. Apa Pak Wasto berulah lagi?" Rein hanya tersenyum maklum, tak berniat menanggapi pertanyaan Lani. Lagipula, bukankah menggunjing itu dosa? Apalagi jika yang digunjingkan adalah orang yang telah memberikan kita ilmu. Bisa bayangkan sebesar apa dosanya?

"Cepatlah, sebentar lagi hujan turun. Omong-omong, apa kau menungguku seorang diri?" Tanya Rein basa-basi sembari menarik Lani untuk mulai berlari bersamanya. Rein merasa sedikit bersalah, mengingat sahabatnya yang satu ini memang sangat takut akan kegelapan.

"Tentu"

"Tapi aku tak yakin"

"Aku ditemani teman kelasku"

"Siapa?"

"Oke, Calvin menemaniku, Calvin Antariksa. Dia pria yang baik, cerdas, dan lucu. Menurutku begitu, tapi dia agak misterius. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terisolasi, tak tersentuh. Dan apa kau tahu? Tak ada seorangpun yang bisa mendekatinya" Jelas Lani panjang lebar. Cukup membuatku penasaran sebenarnya.

"Bukankah kau baru saja mendekatinya?"

"Ishh bukan seperti itu maksudku. Kau akan tahu sendiri nanti"

"Kapan?"

"Tanya saja pada Tuhanmu"

"Apa dia tampan?"

"Tergantung pandanganmu"

"Maksudmu?"

"Dia tampan jika menurutmu tampan, dan dia jelek jika menurutmu jelek"

"Aku tidak mengerti" Lani memutar bola matanya malas. Lelah berbicara dengan gadis lemot seperti Rein. Beberapa orang mengatakannya menggemaskan, tapi bagi Lani, Rein sangat menjengkelkan.

"Sebenarnya kau sepolos apa sih?" Rein hanya menampakkan cengiran khasnya ketika Lani mulai menebar aura-aura yang menunjukkan dirinya sebentar lagi akan meledak. Jadi, Rein lebih memilih menyimpan rasa penasarannya dibanding mendengar omelan Lani yang tak putus-putus.

Biarlah seorang pria yang bernama Calvin Antariksa tetap menjadi tanya dihatinya. Menemani hatinya yang sepi, dan menebar kehangatan setiap kali Lani menceritakan kisahnya. Setidaknya hingga takdir mempertemukan ia dan pria itu.

*flashback off

"Rein… sebaiknya kita ke UKS" Rein sedikit tersentak, tepukan-tepukan lembut di pipinya sedikit demi sedikit membawanya kembali ke dunia nyata, membuyarkan bayangan kejadian 2 tahun silam saat pertama kali Rein mendengar nama itu.

"Aku baik-baik saja, sungguh" Rein mengulas senyum sembari bergerak cepat meninggalkan kelas. Sesuatu harus dipastikan, ya harus!

"Hey! Mau ke mana kau?" Teriak Alyn dari ujung kelas tatkala Rein telah mencapai ambang pintu. Rein hanya mendengus kasar, lantas melanjutkan tujuannya. Tak perduli dengan Alyn yang saat ini tengah mengejarnya.

"Bukankah Pak Tirta melarang kita berkeliaran?"

"Aku tak tahu"

"Dan aku sedang memberitahumu. Sebenarnya, ke mana kau akan pergi?" Rein menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya dan menatap Alyn garang.

"Alyn… aku hanya ingin ke toilet. Apa kau akan terus mengikutiku?" Ujar Rein dengan wajah memelas. Alyn berdecih, lantas pergi meninggalkannya dengan kaki yang dientak-entakkan seperti anak kecil.

"Seharusnya bilang dari tadi. Padahal aku berharap kau ingin membolos saja. Aku bosan dikelas" Baru saja Rein beranjak, tapi sebuah teriakan membuatnya terkekeh, dasar Alyn nakal.

Kakinya terus melangkah, membelah lapangan upacara yang sekarang tampak lengang. Berbeda jauh dengan ucapannya beberapa menit lalu kepada Alyn. WC? Bahkan ia sama sekali tak melewatinya. Ya, itu hanya alibi. Rein ingin menjawab tanya yang selalu mengganggu tidur panjangnya. Tapi kenapa ia merasa sedikit kecewa tatkala pertanyaan itu terjawab? Entahlah, dan ia harus memastikannya pada seseorang. Lani, dia harus bertanggungjawab.

Tak terasa dirinya sudah berdiri didepan gedung RPL. Ya, sekolahnya memang menyediakan tiap gedung berbeda untuk tiap jurusan. Dan usaha Rein memang tak main-main, jarak antara gedung Akuntansi dan gedung RPL sangatlah jauh. Jadi, apa tak ada yang ingin memberikan tepuk tangan untuknya?

Rein menghela napas berat. Mungkin ia mampu mencapai gedung RPL tanpa kendala sedikit pun. Tapi dimana kelas Lani? Rein tak tahu, ia hanya menuruti kata hatinya.

Rein menatap gedung itu lamat-lamat. Berharap jika sekiranya ada seseorang yang dikenalnya. Tapi lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan. Ia baru ingat jika ia tak memiliki banyak teman, apalagi dari jurusan RPL.

"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus kembali lagi? Ah padahal sudah sejauh ini" bisik Rein pelan kepada dirinya sendiri.

Rein melangkahkan kakinya meninggalkan gedung RPL dengan berat hati. Sedikit kecewa karena usahanya sia-sia. Ia tergolong siswa yang disiplin, dan kini ia melanggar perintah Pak Tirta hanya untuk mendapat kekecewaan. Marah? Tentu, Rein marah kepada dirinya sendiri yang terlalu lemah menurutnya. Seharusnya ia bisa mengatasi masalah hatinya sendiri. Dan jika ia kecewa dengan jawaban akan khayalannya selama ini apa Lani yang patut disalahkan? Tidak, ini murni karena khayalan liar Rein. Khayalan yang bahkan sampai saat ini mengganggu pikirannya.

Antariksa, ia begitu menyukai nama itu. Entahlah dengan pemilik namanya. Rein merasa ketenangannya tiba-tiba hilang ketika pria itu menyebutkan namanya. Seharusnya tak seperti ini. Apa tidak ada yang lebih mengagumkan lagi? Ia kecewa. Tapi, apakah itu pantas? Tak seharusnya Rein menyalahkan rupa seseorang. Mungkin arti dari Antariksa bukanlah pria yang tampan seperti khayalannya. Tapi, ketenangan yang akan menyelimuti dirinya tatkala berada dalam ruang yang sama dengannya.

Seperti saat Rein menatap Antariksa untuk pertama kalinya di dalam bus pagi ini. Damai dan mengagumkan, manik matanya seolah memerangkap Rein untuk menjelajahi kegelapan disana. Kegelapan yang mungkin akan membawanya menuju keindahan tiada tara, Antariksa. Dan Rein lupa akan hal itu, ia terjebak dalam labirin pesona Antariksa bahkan sebelum ia mengetahui nama pria itu. Menyalahkan rupa? Mungkin itu kesalahan besar yang Rein perbuat. Ia tak begitu siap akan kejutan yang menyerangnya bertubi-tubi dalam sekali waktu.

"Aku sudah merasakan ketenanganmu. Kapan kau akan menunjukkan keindahanmu, Antariksa?" Bisik Rein pelan sembari tersenyum. Lantas melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ia berjalan perlahan untuk kembali ke kelasnya, kembali dalam lingkup kedamaian seorang Antariksa.


-&&&-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar