"Rupamu mungkin tak begitu meyakinkan. Tapi aku tak punya pilihan lain kecuali menunggu sisi lain dirimu yang mengagumkan"
-&&&-
"Namaku Calvin Antariksa" katanya, sembari mengulum
senyum.
Nama itu… Nama yang tak asing lagi terdengar, nama yang
terus terngiang selama 2 tahun terakhir. Nama yang mampu membuat bayangan akan
keindahan melambung hingga angkasa, persis seperti nama yang disandangnya. Dan
pemilik nama itu… Benarkah? Apa ini nyata? Sungguh?
"Ahh benar-benar tak dapat dipercaya"
"Apa?"
"Hah?" Kaget Rein, tak menyangka mulutnya akan
merealisasikan apa yang ada di pikirannya.
"Apanya yang tak dapat dipercaya?"
"Ah tidak, aku hanya… Entahlah"
"Rein, kau baik-baik saja kan? Wajahmu terlihat sedikit
pucat" Tanya Calvin sarat akan kekhawatiran. Sedangkan Rein hanya
tersenyum canggung, memikirkan takdir macam apa yang telah mempertemukannya dengan
seorang Calvin Antariksa.
.
.
.
*flashback
Langit terlihat begitu
mendung, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Rein terus melonggokkan kepalanya,
mencari keberadaan seseorang dan berharap agar orang itu tak meninggalkannya.
Berkali-kali ia melirik guru yang masih setia menerangkan suatu sejarah. Bukan
sejarah penting, melainkan sejarah hidup dan percintaannya ketika ia masih
remaja. Bahkan, tak ada seorangpun yang berminat memperhatikannya, semua murid
terlihat bosan dan memilih berkutat dengan pekerjaan yang menurut mereka lebih
penting. Lucu kan? Walaupun begitu, Rein merasa sedikit iba. Sedikit? Ya, hanya
sedikit. Karena sejujurnya ia juga agak kesal, jam pulangnya mundur, dan itu
bisa menjadi suatu bencana.
"Ya, cukup untuk
hari ini. Sampai jumpa di minggu berikutnya" Rein bernapas lega ketika
guru itu menutup pertemuan mereka dan mulai berderap meninggalkan kelas. Tak
ingin bertele-tele, Rein langsung memasukkan peralatan tulisnya secara asal
lantas keluar dari kelas dengan terburu-buru. Pasalnya, sudah 1 minggu Alyn tak
masuk sekolah, berlibur katanya. Jadi, tak ada yang perlu Rein tunggu lagi.
Pandangannya menyapu
seluruh koridor yang sudah lumayan sepi. Mungkin karena keadaan gelap membuat
mereka tak betah berlama-lama disini dan memilih untuk segera pulang.
Setidaknya bergelung di bawah selimut dan ditemani camilan serta coklat hangat
yang menggugah selera lebih menyenangkan dibanding membeku diantara kungkungan
air hujan. Bukan begitu?
"Rein… cepatlah.
Aku menunggumu disini" Rein berbalik, lantas berlari mengikuti sumber
suara. Terlihat selulet seseorang disana, meskipun agak samar, tapi Rein amat
mengenalnya.
"Lani? Kau tak
meninggalkanku?"
"Tentu, yang suka
ke perpustakaan kan hanya kau. Apa Pak Wasto berulah lagi?" Rein hanya
tersenyum maklum, tak berniat menanggapi pertanyaan Lani. Lagipula, bukankah menggunjing
itu dosa? Apalagi jika yang digunjingkan adalah orang yang telah memberikan
kita ilmu. Bisa bayangkan sebesar apa dosanya?
"Cepatlah,
sebentar lagi hujan turun. Omong-omong, apa kau menungguku seorang diri?"
Tanya Rein basa-basi sembari menarik Lani untuk mulai berlari bersamanya. Rein
merasa sedikit bersalah, mengingat sahabatnya yang satu ini memang sangat takut
akan kegelapan.
"Tentu"
"Tapi aku tak
yakin"
"Aku ditemani
teman kelasku"
"Siapa?"
"Oke, Calvin
menemaniku, Calvin Antariksa. Dia pria yang baik, cerdas, dan lucu. Menurutku begitu,
tapi dia agak misterius. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terisolasi, tak
tersentuh. Dan apa kau tahu? Tak ada seorangpun yang bisa mendekatinya"
Jelas Lani panjang lebar. Cukup membuatku penasaran sebenarnya.
"Bukankah kau
baru saja mendekatinya?"
"Ishh bukan
seperti itu maksudku. Kau akan tahu sendiri nanti"
"Kapan?"
"Tanya saja pada
Tuhanmu"
"Apa dia
tampan?"
"Tergantung
pandanganmu"
"Maksudmu?"
"Dia tampan jika
menurutmu tampan, dan dia jelek jika menurutmu jelek"
"Aku tidak
mengerti" Lani memutar bola matanya malas. Lelah berbicara dengan gadis
lemot seperti Rein. Beberapa orang mengatakannya menggemaskan, tapi bagi Lani,
Rein sangat menjengkelkan.
"Sebenarnya kau
sepolos apa sih?" Rein hanya menampakkan cengiran khasnya ketika Lani
mulai menebar aura-aura yang menunjukkan dirinya sebentar lagi akan meledak.
Jadi, Rein lebih memilih menyimpan rasa penasarannya dibanding mendengar omelan
Lani yang tak putus-putus.
Biarlah seorang pria
yang bernama Calvin Antariksa tetap menjadi tanya dihatinya. Menemani hatinya
yang sepi, dan menebar kehangatan setiap kali Lani menceritakan kisahnya. Setidaknya
hingga takdir mempertemukan ia dan pria itu.
*flashback off
"Rein… sebaiknya kita ke UKS" Rein sedikit
tersentak, tepukan-tepukan lembut di pipinya sedikit demi sedikit membawanya
kembali ke dunia nyata, membuyarkan bayangan kejadian 2 tahun silam saat pertama
kali Rein mendengar nama itu.
"Aku baik-baik saja, sungguh" Rein mengulas senyum
sembari bergerak cepat meninggalkan kelas. Sesuatu harus dipastikan, ya harus!
"Hey! Mau ke mana kau?" Teriak Alyn dari ujung
kelas tatkala Rein telah mencapai ambang pintu. Rein hanya mendengus kasar,
lantas melanjutkan tujuannya. Tak perduli dengan Alyn yang saat ini tengah
mengejarnya.
"Bukankah Pak Tirta melarang kita berkeliaran?"
"Aku tak tahu"
"Dan aku sedang memberitahumu. Sebenarnya, ke mana kau
akan pergi?" Rein menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya dan menatap
Alyn garang.
"Alyn… aku hanya ingin ke toilet. Apa kau akan terus
mengikutiku?" Ujar Rein dengan wajah memelas. Alyn berdecih, lantas pergi
meninggalkannya dengan kaki yang dientak-entakkan seperti anak kecil.
"Seharusnya bilang dari tadi. Padahal aku berharap kau
ingin membolos saja. Aku bosan dikelas" Baru saja Rein beranjak, tapi
sebuah teriakan membuatnya terkekeh, dasar Alyn nakal.
Kakinya terus melangkah, membelah lapangan upacara yang
sekarang tampak lengang. Berbeda jauh dengan ucapannya beberapa menit lalu
kepada Alyn. WC? Bahkan ia sama sekali tak melewatinya. Ya, itu hanya alibi.
Rein ingin menjawab tanya yang selalu mengganggu tidur panjangnya. Tapi kenapa
ia merasa sedikit kecewa tatkala pertanyaan itu terjawab? Entahlah, dan ia
harus memastikannya pada seseorang. Lani, dia harus bertanggungjawab.
Tak terasa dirinya sudah berdiri didepan gedung RPL. Ya,
sekolahnya memang menyediakan tiap gedung berbeda untuk tiap jurusan. Dan usaha
Rein memang tak main-main, jarak antara gedung Akuntansi dan gedung RPL
sangatlah jauh. Jadi, apa tak ada yang ingin memberikan tepuk tangan untuknya?
Rein menghela napas berat. Mungkin ia mampu mencapai gedung
RPL tanpa kendala sedikit pun. Tapi dimana kelas Lani? Rein tak tahu, ia hanya
menuruti kata hatinya.
Rein menatap gedung itu lamat-lamat. Berharap jika sekiranya
ada seseorang yang dikenalnya. Tapi lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan. Ia
baru ingat jika ia tak memiliki banyak teman, apalagi dari jurusan RPL.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus kembali
lagi? Ah padahal sudah sejauh ini" bisik Rein pelan kepada dirinya
sendiri.
Rein melangkahkan kakinya meninggalkan gedung RPL dengan
berat hati. Sedikit kecewa karena usahanya sia-sia. Ia tergolong siswa yang
disiplin, dan kini ia melanggar perintah Pak Tirta hanya untuk mendapat
kekecewaan. Marah? Tentu, Rein marah kepada dirinya sendiri yang terlalu lemah
menurutnya. Seharusnya ia bisa mengatasi masalah hatinya sendiri. Dan jika ia
kecewa dengan jawaban akan khayalannya selama ini apa Lani yang patut
disalahkan? Tidak, ini murni karena khayalan liar Rein. Khayalan yang bahkan
sampai saat ini mengganggu pikirannya.
Antariksa, ia begitu menyukai nama itu. Entahlah dengan
pemilik namanya. Rein merasa ketenangannya tiba-tiba hilang ketika pria itu
menyebutkan namanya. Seharusnya tak seperti ini. Apa tidak ada yang lebih
mengagumkan lagi? Ia kecewa. Tapi, apakah itu pantas? Tak seharusnya Rein
menyalahkan rupa seseorang. Mungkin arti dari Antariksa bukanlah pria yang
tampan seperti khayalannya. Tapi, ketenangan yang akan menyelimuti dirinya
tatkala berada dalam ruang yang sama dengannya.
Seperti saat Rein menatap Antariksa untuk pertama kalinya di
dalam bus pagi ini. Damai dan mengagumkan, manik matanya seolah memerangkap
Rein untuk menjelajahi kegelapan disana. Kegelapan yang mungkin akan membawanya
menuju keindahan tiada tara, Antariksa. Dan Rein lupa akan hal itu, ia terjebak
dalam labirin pesona Antariksa bahkan sebelum ia mengetahui nama pria itu.
Menyalahkan rupa? Mungkin itu kesalahan besar yang Rein perbuat. Ia tak begitu
siap akan kejutan yang menyerangnya bertubi-tubi dalam sekali waktu.
"Aku sudah merasakan ketenanganmu. Kapan kau akan
menunjukkan keindahanmu, Antariksa?" Bisik Rein pelan sembari tersenyum.
Lantas melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ia berjalan perlahan untuk
kembali ke kelasnya, kembali dalam lingkup kedamaian seorang Antariksa.
-&&&-