"Goresan itu terus bergerak membentuk setengah lingkaran,
dilanjutkan dengan garis lurus dan diakhiri dengan tanda titik dibawahnya"
-&&&-
Ketenangan malam memang tak bisa diragukan lagi. Malam
menjanjikan kedamaian, ia memberikan waktu untuk berpikir, merenung, dan
memperbaiki kesalahan yang pernah tercipta. Kesalahan? Bukankah semua manusia
pernah melakukan kesalahan? Lantas bagaimana dengan mereka yang menganggap
kesalahan tak bisa ditoleransi? Apa orang tersebut menganggap dirinya dewa?
Bahkan seorang dewa pun dapat melakukan kesalahan bukan?
Sesuatu yang telah hancur mungkin tak akan bisa seindah
dahulu, persis seperti sedia kala. Tapi apa salahnya memperbaiki? Setidaknya ia
dapat meminimalisir kehancuran yang ada. Mengubah runtuhan-runtuhan fondasi
menjadi sebuah bangunan kecil, meskipun masih tercipta jarak antar tiap
kepingan. Dan apa itu artinya? Bangunan itu menunggu, menunggu seseorang yang
berbaik hati menambal sekat itu dengan kasih sayang, menempatinya dengan suka
cita dan menebar cinta didalamnya.
-&&&-
Jarum jam terus berdetik, seolah tak memiliki jeda untuk
sekedar istirahat. Rein yang sedari tadi memejamkan matanya berusaha untuk
terlelap akhirnya menyerah, menatap jengah ke arah jam yang seolah bekerja sama
dengan kelopak matanya agar ia tak segera jatuh ke dalam dunia mimpi yang
selalu diagung-agungkan oleh para kaum pendamba kasih sayang. Pasti kalian tahu
kan namanya? Jomblo! Hehe
Rein beranjak dari ranjangnya menuju jendela. Percuma saja
berusaha keras untuk terlelap jika pikirannya masih terpusat kepada seseorang.
Dan sialnya, sulit sekali mengenyahkannya! Rein tak habis pikir bagaimana bisa
pria itu dengan mudah menyelinap lantas memasuki pikirannya dan menghancurkan
acara tidurnya. Ini tak bisa dibiarkan, bisa-bisa kondisi kantung matanya
semakin mengkhawatirkan.
Rein meringis pelan membayangkan hal itu terjadi padanya.
Cukuplah dengan wajahnya yang sedikit berminyak, jangan ditambah kantung hitam!
Apalagi jerawat? Tamatlah rupa Rein yang saat ini masih syukur terbilang
standar, bahkan sangat biasa.
Perlahan Rein membuka gorden yang menghalangi pandangannya.
Tiba-tiba ia ingin melihat bintang, melihat pesona Antariksanya saat bertabur
bintang. Namun, justru kekecewaanlah yang harus ia dapatkan. Bukan bintang yang
ia dapati, melainkan rintikan hujan yang semakin lama semakin deras. Ah,
sudahlah. Rein hanya bisa pasrah akan keadaan saat ini, akhir-akhir ini memang
sering turun hujan, dan ia tak bisa menyalahkan siapa pun atas apa yang
terjadi.
Ia bertanya-tanya, apa yang tengah ia rasakan sebenarnya?
Jatuh cinta? Orang bilang jatuh cinta adalah perasaan ketika jantung berdetak
melebihi batas normal ketika berdekatan dengan lawan jenis. Tapi ia tak
merasakannya, justru ketenanganlah yang merasuki sukmanya, membuatnya betah
berlama-lama dengan pria itu. Tunggu, kenapa langsung memikirkan soal jatuh
cinta? Bukankah Rein baru pertama kali bertemu dengan pria itu? Sayangnya,
pendengaran dan pikirannya telah merekam dengan jelas siapa itu Antariksa.
Sesuatu kembali melintasi pikirannya. Seketika ia teringat
perkataan Lani dahulu bilamana Antariksa adalah orang yang sulit untuk
didekati. Benarkah? Lantas bagaimana dengan sikapnya tadi pagi yang terbilang
tak masuk akal? Apa dia menutupinya? Tapi untuk apa?
Antariksa… ah maksudnya Calvin. Entah kenapa ia lebih
menyukai nama Antariksa, walaupun semua orang memanggilnya Calvin. Sepertinya
aku harus membiasakan diri, pikir Rein dalam hati.
Mengingat pria itu, rasanya memang ada yang aneh. Pertama
kali ia melihatnya, terasa jelas aura dingin begitu melingkupinya hingga
membuat Rein bergidik ngeri. Ia terkesan dingin dan acuh, walaupun kedamaian
tak sedikit pun terlepas darinya. Tapi untuk kedua kalinya, kenapa malah tak
semengerikan itu? Ia terlihat santai, menyenangkan, dan sedikit kurang waras.
Jika boleh berharap, Rein ingin memasuki kehidupannya lebih
dalam. Bukan hanya untuk menguak kebenaran yang ada, tapi ia memang tertarik.
Calvin biasa saja, ia tak setampan pria yang duduk di sebelahnya tadi pagi,
pria yang menjabat sebagai ketua OSIS tahun ini dan merangkap sebagai ketua
kelas di kelasnya, Dion. Ia juga tak sepintar Bagas yang selalu mendapatkan
nilai tertinggi di jurusan Akuntansi. Tubuhnya juga tak sebagus Rio yang
menjabat sebagai kapten basket. Dan mereka semua berkumpul dikelasnya. Tapi
kenapa malah Calvin yang membuatnya tertarik? Apa karena ia telah mendengar
begitu banyak cerita dari Lani tentang pria itu?
Nah, mengingat Lani. Rein juga sebenarnya agak bingung.
Bukankah Calvin jurusan Akuntansi sama sepertinya? Bagaimana bisa dulu ia
sekelas dengan Lani yang berada di jurusan RPL? Jika ia pindah pun pasti ia
akan menjadi adik kelasnya, bukan malah sekelas dengannya. Semua ini membuatnya
bingung. Entahlah, siapa Calvin Antariksa sebenarnya?
Rein kembali melirik jam dindingnya, waktu telah menunjukkan
pukul 11.45 p.m. Selama itukah dirinya merenung? Bukankah terakhir kali ia
melihat jam masih menunjukkan pukul 09.54 p.m.? Rein mendesah berat, mengingat
kebiasaannya yang tak kunjung hilang malah makin menjadi. Ia lantas berbalik
dan kembali bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia berharap mimpi akan
membawanya menuju kedamaian antariksa dan mempertemukannya di esok hari yang
cerah beratapkan awan putih dengan panorama alam yang Tuhan suguhkan setiap
pagi. Ya, sunrise, betapa Rein sangat menyukainya.
-&&&-
Rein sudah siap dan duduk cantik sembari memakan sarapannya.
Ternyata semalam kakaknya pulang, dan ia sudah tak bisa lagi berbuat seenaknya
atau hidup bebasnya terancam ditangan kakaknya tercinta, Ichsan Sting. Ia
benar-benar pengacau kehidupannya. Pernah sekali ia diawasi oleh beberapa
bodyguard berbadan besar dan selalu mengenakan seragam hitam. Rein sebenarnya heran,
apa mereka selalu memakai pakaian itu setiap saat? Atau mereka memiliki
berlusin-lusin pakaian yang sama? Bukankah amat monoton? Sungguh membosankan.
Ah, lupakan! Yang jelas, semua itu kakaknya lakukan hanya karena ia terjatuh
dari sepeda dan lututnya terluka. Betapa berlebihannya seorang Ichsan Sting
kan? Bahkan ia lebih mengherankan daripada pada bodyguardnya yang menyeramkan.
"Wahh tumben pagi-pagi sarapan. Biasanya langsung pergi
tanpa pamit" sindir kakak Rein, Ichsan yang baru saja datang. Ia mendudukkan
dirinya disebelah Rein dan merebut roti panggang yang tengah disantapnya. Rein
hanya mendengus pelan, sungguh kurang ajar kakaknya ini, padahal roti itu hanya
tinggal setengah, dan Rein malas membuatnya lagi.
"Hari ini kakak yang antar" ujar Ichsan
ditengah-tengah kegiatan sarapan mereka berdua. Atau hanya Ichsan yang sarapan?
"Aku bisa naik bus sekolah Kak" tolak Rein dengan
cepat
"Ini perintah, dan kakak tidak suka dibantah"
"OH TUHAAAN!!!" Teriak Rein frustasi sembari
mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil. Rein pasrah, jika kakaknya sudah
seperti ini tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Rein tak ingin mendapat
masalah pagi-pagi seperti ini, berhubung kakaknya adalah seorang polisi yang
selalu dididik bak tentara. Jadi ia harus disiplin. Ingat, disiplin! Sedangkan
Ichsan yang melihat tingkah adiknya hanya tersenyum gemas, Rein masih tetap
menjadi gadis kecilnya yang lucu dan menggemaskan.
Ichsan telah berjanji kepada ayahnya bahwa ia akan menjaga
Rein dan ibunya, 2 orang wanita yang sangat mereka cintai, dengan nyawa sebagai
taruhannya, terutama Rein. Pasalnya, Ichsan yang paling mengerti bagaimana
menderitanya ayahnya 9 tahun silam, saat Rein terbaring tak berdaya di atas
bankar dengan tubuh bersimbah darah. Hingga sesuatu terjadi padanya, hal paling
mengerikan yang bisa setiap saat menyerangnya, menghilangkan nyawa gadis
kecilnya, Rein.
Ichsan tak mau hal itu terjadi. Ayahnya bekerja mencari
nafkah untuk mereka. Dan disinilah Ichsan berperan, menggantikan sang ayah
untuk melindungi bidadari-bidadarinya.
-&&&-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar