Rabu, 10 Mei 2017

Bab 4 : Sebuah Tanda


"Goresan itu terus bergerak membentuk setengah lingkaran, dilanjutkan dengan garis lurus dan diakhiri dengan tanda titik dibawahnya"

-&&&-

Ketenangan malam memang tak bisa diragukan lagi. Malam menjanjikan kedamaian, ia memberikan waktu untuk berpikir, merenung, dan memperbaiki kesalahan yang pernah tercipta. Kesalahan? Bukankah semua manusia pernah melakukan kesalahan? Lantas bagaimana dengan mereka yang menganggap kesalahan tak bisa ditoleransi? Apa orang tersebut menganggap dirinya dewa? Bahkan seorang dewa pun dapat melakukan kesalahan bukan?

Sesuatu yang telah hancur mungkin tak akan bisa seindah dahulu, persis seperti sedia kala. Tapi apa salahnya memperbaiki? Setidaknya ia dapat meminimalisir kehancuran yang ada. Mengubah runtuhan-runtuhan fondasi menjadi sebuah bangunan kecil, meskipun masih tercipta jarak antar tiap kepingan. Dan apa itu artinya? Bangunan itu menunggu, menunggu seseorang yang berbaik hati menambal sekat itu dengan kasih sayang, menempatinya dengan suka cita dan menebar cinta didalamnya.

-&&&-

Jarum jam terus berdetik, seolah tak memiliki jeda untuk sekedar istirahat. Rein yang sedari tadi memejamkan matanya berusaha untuk terlelap akhirnya menyerah, menatap jengah ke arah jam yang seolah bekerja sama dengan kelopak matanya agar ia tak segera jatuh ke dalam dunia mimpi yang selalu diagung-agungkan oleh para kaum pendamba kasih sayang. Pasti kalian tahu kan namanya? Jomblo! Hehe

Rein beranjak dari ranjangnya menuju jendela. Percuma saja berusaha keras untuk terlelap jika pikirannya masih terpusat kepada seseorang. Dan sialnya, sulit sekali mengenyahkannya! Rein tak habis pikir bagaimana bisa pria itu dengan mudah menyelinap lantas memasuki pikirannya dan menghancurkan acara tidurnya. Ini tak bisa dibiarkan, bisa-bisa kondisi kantung matanya semakin mengkhawatirkan.

Rein meringis pelan membayangkan hal itu terjadi padanya. Cukuplah dengan wajahnya yang sedikit berminyak, jangan ditambah kantung hitam! Apalagi jerawat? Tamatlah rupa Rein yang saat ini masih syukur terbilang standar, bahkan sangat biasa.

Perlahan Rein membuka gorden yang menghalangi pandangannya. Tiba-tiba ia ingin melihat bintang, melihat pesona Antariksanya saat bertabur bintang. Namun, justru kekecewaanlah yang harus ia dapatkan. Bukan bintang yang ia dapati, melainkan rintikan hujan yang semakin lama semakin deras. Ah, sudahlah. Rein hanya bisa pasrah akan keadaan saat ini, akhir-akhir ini memang sering turun hujan, dan ia tak bisa menyalahkan siapa pun atas apa yang terjadi.

Ia bertanya-tanya, apa yang tengah ia rasakan sebenarnya? Jatuh cinta? Orang bilang jatuh cinta adalah perasaan ketika jantung berdetak melebihi batas normal ketika berdekatan dengan lawan jenis. Tapi ia tak merasakannya, justru ketenanganlah yang merasuki sukmanya, membuatnya betah berlama-lama dengan pria itu. Tunggu, kenapa langsung memikirkan soal jatuh cinta? Bukankah Rein baru pertama kali bertemu dengan pria itu? Sayangnya, pendengaran dan pikirannya telah merekam dengan jelas siapa itu Antariksa.

Sesuatu kembali melintasi pikirannya. Seketika ia teringat perkataan Lani dahulu bilamana Antariksa adalah orang yang sulit untuk didekati. Benarkah? Lantas bagaimana dengan sikapnya tadi pagi yang terbilang tak masuk akal? Apa dia menutupinya? Tapi untuk apa?

Antariksa… ah maksudnya Calvin. Entah kenapa ia lebih menyukai nama Antariksa, walaupun semua orang memanggilnya Calvin. Sepertinya aku harus membiasakan diri, pikir Rein dalam hati.

Mengingat pria itu, rasanya memang ada yang aneh. Pertama kali ia melihatnya, terasa jelas aura dingin begitu melingkupinya hingga membuat Rein bergidik ngeri. Ia terkesan dingin dan acuh, walaupun kedamaian tak sedikit pun terlepas darinya. Tapi untuk kedua kalinya, kenapa malah tak semengerikan itu? Ia terlihat santai, menyenangkan, dan sedikit kurang waras.

Jika boleh berharap, Rein ingin memasuki kehidupannya lebih dalam. Bukan hanya untuk menguak kebenaran yang ada, tapi ia memang tertarik. Calvin biasa saja, ia tak setampan pria yang duduk di sebelahnya tadi pagi, pria yang menjabat sebagai ketua OSIS tahun ini dan merangkap sebagai ketua kelas di kelasnya, Dion. Ia juga tak sepintar Bagas yang selalu mendapatkan nilai tertinggi di jurusan Akuntansi. Tubuhnya juga tak sebagus Rio yang menjabat sebagai kapten basket. Dan mereka semua berkumpul dikelasnya. Tapi kenapa malah Calvin yang membuatnya tertarik? Apa karena ia telah mendengar begitu banyak cerita dari Lani tentang pria itu?

Nah, mengingat Lani. Rein juga sebenarnya agak bingung. Bukankah Calvin  jurusan Akuntansi sama sepertinya? Bagaimana bisa dulu ia sekelas dengan Lani yang berada di jurusan RPL? Jika ia pindah pun pasti ia akan menjadi adik kelasnya, bukan malah sekelas dengannya. Semua ini membuatnya bingung. Entahlah, siapa Calvin Antariksa sebenarnya?

Rein kembali melirik jam dindingnya, waktu telah menunjukkan pukul 11.45 p.m. Selama itukah dirinya merenung? Bukankah terakhir kali ia melihat jam masih menunjukkan pukul 09.54 p.m.? Rein mendesah berat, mengingat kebiasaannya yang tak kunjung hilang malah makin menjadi. Ia lantas berbalik dan kembali bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia berharap mimpi akan membawanya menuju kedamaian antariksa dan mempertemukannya di esok hari yang cerah beratapkan awan putih dengan panorama alam yang Tuhan suguhkan setiap pagi. Ya, sunrise, betapa Rein sangat menyukainya.

-&&&-

Rein sudah siap dan duduk cantik sembari memakan sarapannya. Ternyata semalam kakaknya pulang, dan ia sudah tak bisa lagi berbuat seenaknya atau hidup bebasnya terancam ditangan kakaknya tercinta, Ichsan Sting. Ia benar-benar pengacau kehidupannya. Pernah sekali ia diawasi oleh beberapa bodyguard berbadan besar dan selalu mengenakan seragam hitam. Rein sebenarnya heran, apa mereka selalu memakai pakaian itu setiap saat? Atau mereka memiliki berlusin-lusin pakaian yang sama? Bukankah amat monoton? Sungguh membosankan. Ah, lupakan! Yang jelas, semua itu kakaknya lakukan hanya karena ia terjatuh dari sepeda dan lututnya terluka. Betapa berlebihannya seorang Ichsan Sting kan? Bahkan ia lebih mengherankan daripada pada bodyguardnya yang menyeramkan.

"Wahh tumben pagi-pagi sarapan. Biasanya langsung pergi tanpa pamit" sindir kakak Rein, Ichsan yang baru saja datang. Ia mendudukkan dirinya disebelah Rein dan merebut roti panggang yang tengah disantapnya. Rein hanya mendengus pelan, sungguh kurang ajar kakaknya ini, padahal roti itu hanya tinggal setengah, dan Rein malas membuatnya lagi.

"Hari ini kakak yang antar" ujar Ichsan ditengah-tengah kegiatan sarapan mereka berdua. Atau hanya Ichsan yang sarapan?

"Aku bisa naik bus sekolah Kak" tolak Rein dengan cepat

"Ini perintah, dan kakak tidak suka dibantah"

"OH TUHAAAN!!!" Teriak Rein frustasi sembari mengentak-entakkan kakinya seperti anak kecil. Rein pasrah, jika kakaknya sudah seperti ini tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Rein tak ingin mendapat masalah pagi-pagi seperti ini, berhubung kakaknya adalah seorang polisi yang selalu dididik bak tentara. Jadi ia harus disiplin. Ingat, disiplin! Sedangkan Ichsan yang melihat tingkah adiknya hanya tersenyum gemas, Rein masih tetap menjadi gadis kecilnya yang lucu dan menggemaskan.

Ichsan telah berjanji kepada ayahnya bahwa ia akan menjaga Rein dan ibunya, 2 orang wanita yang sangat mereka cintai, dengan nyawa sebagai taruhannya, terutama Rein. Pasalnya, Ichsan yang paling mengerti bagaimana menderitanya ayahnya 9 tahun silam, saat Rein terbaring tak berdaya di atas bankar dengan tubuh bersimbah darah. Hingga sesuatu terjadi padanya, hal paling mengerikan yang bisa setiap saat menyerangnya, menghilangkan nyawa gadis kecilnya, Rein.

Ichsan tak mau hal itu terjadi. Ayahnya bekerja mencari nafkah untuk mereka. Dan disinilah Ichsan berperan, menggantikan sang ayah untuk melindungi bidadari-bidadarinya.


-&&&-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar